Jumat, 18 Oktober 2019

Pahlawan tanpa Tanda Jasa


Tepat pada hari Kamis lalu 17 Oktober 2019, kami dan teman-teman segelintir orang dari pelbagai elemen masyarakat menghadiri 'Aksi Kamisan' (aksi Diam) di depan Gedung Istana Negara. Aksi Kamisan ini menggambarkan bentuk perjuangan dan kesungguhan mahasiswa dan masyarakat atas hilangnya korban penangkapan dan kekerasan aparat pemerintahan.

Belum lama, sebuah media masa mengabarkan Indonesia menjadi salah satu anggota Dewan HAM periode 2020-2022 di markas PBB New York. (Menteri Luar Negeri RI). Ini menjadi sebuah kebanggaan besar bagi seluruh rakyat Indonesia. Namun ironisnya, tercatat bahwa sejak tahun 1998 sampai saat ini para Oligarki tidak mampu menuntaskan kekerasan HAM yang ada di dalam negeri. 
Sejarah mencatat bahwa kasus Semanggi 1, Semanggi 2, Tragedi Trisakti, bahkan belum lama aksi masa yang di gelar oleh gabungan mahasiswa, buruh, tani dan masyarakat mengenai RUU KUHP, RUU KPK, Dsb menimbulkan banyak kontroversi pelbagai kalangan, tidak sedikit memakan korban jiwa.

Untuk orang-orang yang gugur dalam perjuangan, kisahmu akan dikenang, ceritamu akan diabadikan, namamu akan terus diulang. Jasad bisa mati, tapi semua kenangan tentangmu tidak akan punah, mereka akan tetap ada dan berlipat ganda. Seperti perkataan Tan Malaka: “Suara saya lebih kencang dari dalam kubur dari pada saat saya masih hidup.”

Hidup Korban!
Jangan Diam!
Lawan!

#KamiOposiai
#AksiKamisan 
#DemokrasiDikorupsi

Jumat, 12 Juli 2019

MANUSKRIP TENTANG DAMPAK SUMBERDAYA ALAM YANG BERLEBIHAN

Senin, 01 Juni 2019
04.10 WIB

Tulisan ini termotivasi dari sebuah film yang baru saja di tonton, Sexy Killer. Sebuah film dokumenter karya Ekspedisi Indonesia Biru, yang mengkisahkan bumi manusia yang terjajah dengan pabrik dan ideologi kapitalis. Masyarakat merasa terbebani dengan adanya pertambangan batubara dan PLTU. Bukankah PLTU bagus untuk kelangsungan hidup manusia? Penerangan rumah-rumah warga, listrik parabot rumah, televisi yang kita tonton setiap hari, misalnya. Bahkan dengan adanga PLTU bisa menenerangi 1 kota. Memamg benar, dengan adanya PLTU kita tidak perlu susah payah untuk melakukan kegiatan di malam hari. Namun, bukan berarti banyak manfaat yang dihasilkan tidak ada dampaknya. Bahkan dampak yang ditimbulkan tidaklah sederhana, yaitu ekosistem lingkungan menjadi terancam. Mulai dari perkebunan warga yang semula sejahtera, populasi Frola dan fauna yang melimpah, persawahan dan peternakan bahkan kemegahan alam yang indah, semuanya musnah. Berganti dengan bangunan-bangunan yang kokoh dengan tiang-tiang  menjulang kelangit yang mengeluarkan asapa tebal.

Kota Samarinda Kalimantan Timur tepatnya Desa Kertabuana Kabupaten Kutai Kertanegara, hampir sebagian besar masyarakat disana ialah seorang petani. Sudah 20 tahun sejak 1990 masyarakat merasa terancam semenjak kedatangan proyek pertambangan batubara. Semula gunung yang menghasilkan air jernih dan melimpah kini berganti menjadi lubang galian dan aliran lumpur dari tambang. Bukan hanya persawahan saja yang terkena imbasnya melainkan rumah-rumah warga bahkan korban jiwa. Protes bukan tidak dilakukan, pada tahun 2005 salah seorang warga pernah memprotes menghadang alat berat, namun usahanya membuahkan hasil penjara selama tiga bulan dengan alasan mengganggu operasional perusahaan. Penangkapan tersebut membuat petani lain jera kala itu, dan membuat perusahaan pertambangan semakin leluasa. Pada tahun 2011 hingga 2018 setidaknya tercatat  32 jiwa melayang kibat tenggelam dilubang bekas galian tambang. Bahkan secara nasional pada tahun 2013 hingga 2018 tercatat 115 jiwa.
Pertambangan tersebut bukan hanya merugikan warga dalam perkebunan, tetapi bangunan dan kelangsungan hidup juga memprihatinkan. Banyak sekali lubang bekas galian tambang yang tidak di reklamasikan kembali. Setidaknya  tercatat 3500 lubang bekas galian. Pada November 2018 tercatat 5 rumah warga hancur, 11 rusak, dan jalan utama ambles akibat aktivitas pertambangan yang terlalu dekat dengan permukiman dan fasilitas umum.


Rabu, 10 Juli 2019
09.01 WIB

Pernahkah kita berpikir listrik yang kita gunakan ini berasal dari mana? Yang kita tau aliran listrik yang menerangi rumah-rumah dan segala parabotannya berasal dari PLN. Sesederhana itu. Padahal proses yang dilakukan sangat rumit sekali, bahkan tak sedikit ada yang kehilangan hak dan memakan korban jiwa. Semua bermula dari ledakan didalam tanah. Bumi dikupas untuk diambil batubara-nya. Meskipun disebut batu sebenarnya ia berasal dari tumbuh-tumbuhan yang mengendap dan tertimbun selama lebih dari 200-300 juta tahun. Melalui truk-truk batu bara dibawa dan dipindahkan ke tongkang-tongkang yang lebih besar. Lalu batubara dibawa menyebrangi lautan, sebagian ada yang diekspor ke luar dan dikirim ke PLTU dalam negeri. Di PLTU inilah batu batubara dibakar dan uap nya digunakan untuk membangkitkan turbin sehingga mampu mengalirkan listrik. Baru dari situ listrik dialirkan kerumah-rumah warga.

Begitu panjang perjalanan muara listrik. Dan kita hanya mampu menikmatinya. Setidaknya menjaga dan berhemat kalau kita tidak mampu untuk membantu. Karena bagaimana pun sumber daya alam yang terus menerus digunakan akan habis pada akhirnya. Dan dampaknya ialah generasi penerus kita yang nantinya tidak bisa merasakannya. Sudah tidak bisa merawat ekosistem alam, keaneka ragaman flora dan fauna, ditambah menghabiskan sumber daya alam yang ada.


Kamis, 11 Juli 2019
07.32 WIB

Pernahkah kita mendengar istilah pemanasan global? Mungkin sudah tidak asing bagi kita. Tetapi, kesadaran dan intuitif terhadap nilai stabilitas keaneka ragaman hayati masih terlalu asing.

Pertumbuhan manusia setiap tahunnya selalu meningkat dengan derastis. Pada saat bersamaan, manusia telah berubah menjadi spesies mamalia yang penyebarannya paling luas di bumi. Saat ini tidak ada spesies mamalia lain yang jumlah individunya lebih besar dari pada Homo Sapiens. Dengan pertumbuhan yang semakin pesat, maka semakin banyak juga kebutuhan yang diperlukan. Angka pertumbuhan yang selalu meningkat menimbulkan dampak peradaban yang semakin pesat. Kestabilan siklus alam pun mulai berubah. Manusia mulai mengeruk sumber daya alam bumi; minyak bumi, batu bara, gas untuk diambil manfaatnya. Namun dampak tersebut juga mempengaruhi keseimbangan ekosistem dan pemanasan global. Melalui pembakaran minyak, batu bara, dan gas yang kemudian melepaskan CO² ke atmosfer. Meskipun jumlah CO² yang dihasilkan oleh manusia itu hanya sekedar bagian kecil dari jumlah  yang ada dalam siklus alamiah, tapi itu menambah jumlahnya yang kemudian tidak bisa terurai dan terikat di kerak bumi secara alamiah. Sehingga semakin lama jumlah CO² di atmosfer semakin meningkat. Lalu bumi menjadi lebih hangat. Mengakibatkan lapisan es di Greenland meleleh, bahkan es di Antartika. Itu semua karena dampak lepasnya CO² dan gas metana- salah satu unsur utama gas, rumah kaca, dan mengakibatkan semakin panasnya bumi- ke atmosfer. Seperti halnya manusia jika mengkinsumsi kalori yang berlebih dari kebutuhan tubuh untuk fungsi normal, maka bobot tubuh manusia pun akan bertambah. Begitulah kira-kira analogi penumpukan CO² di atmosfer.

Dampak pengerukan minyak bumi, batu bara dan gas, bukan hanya berimbas pada perkebunan warga, permukiman, yang lebih parah pemanasan global, bahkan ekosistem alam dan bumi itu sendiri terancam. Dampak itupun menyebabkan kerusakan populasi flora dan fauna menurun. Semula bumi masih sangat mempesona. Namun pada abad ini bumi telah kehilangan pesonanya. Dunia ini telah begitu berubah. Pada seratus tahun lalu bumi masih terlihat asri belum terjamah manusia, hutan-hutan alami bisa kita temui dimana-dimana. Bahkan tumbuh-tumbuhan dan hewan banyak sekali yang begitu asing dimata kita. Itu masih sebagian kecil keelokan bumi.

Coba kita lihat kehidupan seputar laut; terumbu karang, moluska, rumput laut, kepiting, kura-kura, dan ikan-ikan yang amat cantik dan mengagumkan. Begitu indahnya pemandangan bawah laut tak kalah elok dengan darat. Bukankah tuhan adil. Namun, kita harus menyadari kenyataan pahit bahwa tingginya keasaman air laut telah merusak ekosistem dan segala spesies yang ada. Laut telah dipaksa menelan berjuta-juta ton CO². Bukti nyata dapat kita lihat di Taman Nasional Pulau Karimun Jawa, tongkang-tongkang bermuatan batu bara hingga ribuan ton hilir mudik diperairan tersebut yang dibawa dari kalimantan untuk di ekspor ke PLTU pulau jawa. Ketika cuaca buruk atau kehabisan bahan bakar tak jarang mereka membuang jangkar, mengakibatkan rusaknya terumbu karang. Itu belum termasuk tumpahan-tumpahan batu bara yang jatuh dan mencemari laut.



KESIMPULAN

Jum'at, 12 Juli 2019
06.31 WIB

Jostein Gaarder menulis dalam bukunya, Dunia Anna: “Umat manusia di bumi ini tidak selalu hidup bersamaan. Keseluruhan umat manusia tidak hidup hanya dalam satu kurun waktu. Telah hidup manusia sebelum kita, lalu kita yang hidup saat ini, dan generasi selanjutnya yang hidup sesudah kita. Dan mereka yang hidup sesudah kita haruslah diperlakukan sebagai satu-kesatuan. Kita harus memperlakukan mereka seperti perlakuan yang kita harapkan dari mereka jika saja mereka hidup di planet ini sebelum kita.
Sesederhana itu aturan mainnya. Jadi, kita tidak boleh mewariskan bumi yang lebih buruk dari pada saat kita tinggali. Jumlah ikan dilaut yang lebih sedikit. Air minum yang lebih sedikit. Makanan yang lebih sedikit. Hutan tropis yang lebih sedikit. Alam pegunungan yang lebih sedikit. Terumbu karang yang lebih sedikit. Gunung es dan jalur ski  yang lebih sedikit. Jenis flora dan fauna yang lebih sedikit ...
Keindahan yang lebih sedikit! Keajaiban yang lebih sedikit! Kemuliaan dan kebahagiaan yang lebih sedikit!”

Teks ini menjadi gambaran kepada kita bahwa hidup tidak selalu tentang apa yang menurut kita baik dan bahagia. Harus ada kebahagiaan yang dirasakan manusia selain kita. Begitupun generasi sesudah kita harus merasakan kebahagiaan seperti yang kita rasakan.

Jostein Gaarder menulis juga: “Baik permasalahan iklim maupun berbagai masalah terkait ancaman dan keaneka ragaman hayati lainnya adalah akibat dari keserakahan. Namun, keserakahan biasanya tidak merisaukan orang-orang yang serakah itu sendiri. Telah banyak kejadian serupa dalam sejarah. Menurut prinsip resiprositas kita seharusnya hanya boleh menggunakan sumber daya tak-terbarukan sebanyak yang bisa kita kompensasikan untuk generasi selanjutnya. Pertanyaan-pertanyaan etis tidaklah perlu dijawab dengan cara yang sulit, tapi kemampuan kita untuk melaksanakan jawabannyalah yang sering kali tidak ada. Saya bisa membayangkan anak cucu kita dalam keputusasaan- baik karena kehilangan sumber daya alam seperti gas dan minyak maupun kehilangan keanekaragaman alam hayati: Kalian telah menghabiskan semuanya! Kalian tidak menyisakan sedikit pun untuk kami.”
Kita dapat sama-sama melihat, betapa banyak kawasan industri di pulau jawa; PLTU, pabrik dan rumah kaca. Semunya mengeluarkan asap tebal pembuangan pembakaran. Mungkin terlihat sederhana, tetapi CO² yang sudah berada di atmosfer tidak akan pernah terurai. Gas metana yang sudah mengudara tidak akan berbaur dengan udara. Dan efek rumah kaca yang memantulkan sinar matahari akan mengakibatkan atmosfer semakin tipis.

Apakah dengan cara ini manusia memperoleh kekayaan dan kebahagiaan duniawi? Apakah tidak berpikir panjang bahwa akan ada generasi sesudah kita? Bukankah pembakaran sumberdaya fosil dan batu bara ini dalam waktu singkat juga akan memuskahkan berbagai cadangan sumber daya alam yang dapat diperbaharui? Tidakkah pesta minyak tak bermoral ini menjadi ancaman signifikan bagi sumber penghidupan tanaman, hewan dan manusia nantinya? Dan bukankah perampokan atas mereka yang seharusnya mewarisi bumi ini?

Berbahagia bukan hanya milik individu; para penguasa, pemilik modal, para pecinta alam, aktivis lingkungan, bahkan bukan milik negara. Melainkan untuk seluruh makhluk hidup, baik manusia, hewan dan tumbuhan. Maka lestarikanlah. Jika makhluk yang berakal saja tidak memiliki kesadaran untuk menjaga ekosistem dan kestabilan alam, bagaimana dengan makhluk lainnya? Terkadang kita suka berkomentar tentang hal-hal buruk. Menyuarakan slogan 'GO GREEN'.  Tetapi sangat merasa bosan membahas topik kelestarian lingkungan. Mari mulailah dari sekarang, diskusikan tentang keanekaragaman hayati dilingkungan kita.


SEKIAN.

Jumat, 28 Juni 2019

MERDEKA BERARTI BERMANUSIA

Serial Kisah Anak Pendosa


Ini kisah tentang seorang pendaki yang lelah dengan kamuflase ibu kota. Tipu daya, kemunafikan, keegoisan, keangkuhan, dan segala sifat manusia yang tak bermanusiawi. Seolah semua diukur dengan harta dan jabatan. Sebegitu murahkan nilai kemanusiaan?

Sudahlah....
Terkadang memang benar, jika hatimu ingin di dengarkan maka pergilah... Jelajahilah dunia dan lihat dunia dari sudut pandang yang lebih indah.

Soe Hok Gie pernah berkata dalam pengembaraannya; “Dunia itu seluas langkah kaki. Jelajahilah dan jangan pernah takut melangkah. Hanya dengan itu kita bisa mengerti kehidupan dan menyatu dengannya.” Soe Hok Gie

Kenapa sih suka sekali di hutan dan gunung? Pasti tempat itu yang menjadi destinasi. Sudah tau cape, buang-buang biaya, tenaga, bahkan waktu.

..., Karena bagi saya disini kita mendapatkan ketenangan, kebebasan, nilai-nilai kemanusiaan, dan masih menjunjung tinggi moral & kemerdekaan. Di hutan dan gunung tidak ada pembatas antar kelas sosial, etnis, ras, budaya bahkan bangsa. Tidak akan ada yang menanyakan apa title mu, apa suku mu. Apa agama mu. Seberapa banyak harta mu. Lulusan mana; siswa, sarjana, pekerja. Kita semua sama ‘Penikmat Alam.’ Maka jangan pernah sombong, bung.

Karena sejatinya, kita tidak menakhlukan gunung. Justru gununglah yang menakhlukan kita; egosentris, fanatis, kapitalis tak berarti disana. Semakin kau menyombongkan dirimu, membesarkan kelebihan mu, maka semesta akan menampakan lebih jelas ketidakmampuan dan kelemahan mu.

Sudah mengertikan kenapa aku selalu pergi kesana?
Suatu saat, kau akan ku perkenalkan dengan semesta itu, guru  yang mengajarkan aku nilai kemanusiaan dan kemerdekaan. “Berproseslah dimanapun, dan jangan pernah takut dibatasi pergerakan mu.”


Cak.naim
Sekian.

Jumat, 07 Juni 2019

SEBUAH INTERPRETASI

Tentang ketidak mampuan untuk move on dari masa lalu.

“Pendidikan hanya sebatas belajar; SD, SMP, SMA, bahkan Kuliah. Lalu Lulus bekerja untuk sukses. Selesai.” Doktrin bangsa kita.

Namun, pernahkan berpikir bahwa pendidikan untuk menjadi individu kritis yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran!? Bangsa ini terlalu takut untuk kehilangan masa depan. Maka lebih memilih bertahan dengan doktrin nenek moyang.

Seperti ungkapan Jack Ma “Di dunia ini orang yang paling sulit dilayani adalah orang yang bermental miskin.”

Dalam beberapa kasus pendidikan menjadi tolak ukur seseorang dalam meraih cita-cita.  Memang, dalam meraih masa depan harus dibekali  ilmu dan pengetahuan. Tapi apakah sebatas untuk mencari pekerjaan!?

Maka tidak heran di pelosok-pelosok nusantara masih beranggapan ‘Untuk apa sekolah tinggi-tinggi, nantinya kamu juga jadi petani.’  Doktrin inilah yang mengakar kuat dibenak masyarakat desa pada umumnya. Toh, orang kota sendiri beranggapan pendidikan untuk pekerjaan.

Kesuksesan memiliki nilai relatif sesuai pandangan masing-masing.

Sekian.

Jumat, 17 Mei 2019

NILAI KEMANUSIAAN YANG MEMUDAR

Serial kisah anak pendosa
Oleh Cak.naim

Disimpang jalan ku mengadu nasib dengan tuhan. Dari sini aku bisa melihat banyak orang berlalu lalang. Mulai dari yang perpakaian necis sampai busana islami. Bahkan yang berpakaian lusuh dan compang-camping.

"De, ini ada makanan ambilah".

Suara itu membuyarkan lamunanku. Seorang ibu memanggil dari balik kaca mobilnya yang dibuka. "Oh, iya terimakasih banyak, bu".

Kurasa ibu itu menganggapku gembel karena dipinggir jalan dengan pakaian lusuh dan celana pendek. Yasudahlah makan saja, toh sudah diberi, menghormati pemberian ibu itu sekaligus bersyukur dengan nikmat yang tuhan berikan. Lagi pula itu hanya soal penampilan.

Bicara soal penampilan, sering kali kita menafikan orang-orang kelas bawah. Dibutuhkan pada saat bulan ramadhan sebagai ajang kompetisi gengsi kaum ber-uang. Namanya juga ibukota, bukan disini tempatnya kalau gengsi  melihat tetangganya lebih kaya.

Kekiri dianggap komunis. Kekanan dianggap kapitalis. Berpenampilan sarung dan sorban dikira teroris. Bercelana levis dubully kebarat-baratan, sok necis. Celana gombrong dibilang jamet Ketinggalan zaman. Celana pensil dibilang berandalan.

Susah sekali yah, mengikuti standar ibu kota. Setiap orang mempunyai sudut pandang yang berbeda. Bingung yang benar yang mana. Merasa paling benar padahal hanya soal pakaian. Namanya ibu kota, bukan disini kalau pakaian kusam dicap wajah pengemis.

Ideologis tergerus arus zaman. Pragmatis dikata sok-sokan. Realistis dihina tidak memiliki aturan. Susah menjadi manusia yang berstandar manusia di Ibukota.

Rabu, 10 April 2019

PERAN MAHASISWA DALAM MENYIKAPI POLEMIK KEHIDUPAN KAMPUS

Mahasiswa yang merupakan kaum muda terpelajar dari perguruan tinggi mempunyai peranan penting dalam mengubah sejarah kebangsaan dan kemerdekaan. Sejarah mencatat bahwa mahasiswa ikut andil dalam menciptakan perubahan pada kepemimpinan nasional. Yaitu gerakan mahasiswa yang memiliki kontribusi besar pada bangsa ini ke arah revolusi yang merdeka. Penulis mengutip perkataan Ben Anderson dalam buku Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan perlawanan di Jawa 1944-1946: "Pada permulaannya memang sebagian ditentukan oleh "Kesadaran Pemuda".

Dalam dunia perkuliahan kita dituntut untuk mengetahui apa identitas kita yang sebenarnya. Berbeda pada masa SMP maupun SMA yang masih berproses mencari jatidiri. Dengan mengetahui identitas tersebut kita mampu me-kompilasikan apa yang menjadi kewajiban. Praktik formalitasnya kampus menjadi arena dalam me-aplikasikan jati diri dan menggali pengalaman-pengalaman yang mampu membawa pada perubahan. Bukan hanya mampu mengumpulkan data faktual yang berisi pengetahuan tentang masyarakat global, tetapi juga mampu me-implementasikan apa yang sudah didapat berupa fakta yang rasional, dan juga berisi subtansi yang absolut.

Dalam aksi nyatanya perlu ada kesadaran secara pribadi. Jika tidak ada langkah-langkah serius yang diambil oleh individu untuk menata diri, dikhawatirkan suatu saat keadaan itu tidak akan membuatnya berproses dan berkembang. Karena yang terpenting dari identitas itu ialah sifat persuasif terhadap harga jual identitas tersebut. Bagaimana masyarakat mau membeli jika kualitas barang tidak mencukupi. Tentu kita perlu mengambil tindakan-tindakan lebih sigap dan tegas untuk menerapkan aturan-aturan yang berlaku demi menghindari cabikan-cabikan konflik kemasyarakatan yang tidak terkendali.

Oleh karena itu, sebagai mahasiswa harus mampu memahami makna kemahasiswaan itu sendiri. Peran mahasiswa bukan hanya dituntut untuk aktif mengikuti Pelbagai kegiatan, akan tetapi menjalankan amanah, tanggung jawan, kedisiplinan dan kewajiban dari identitas tersebut.

Minggu, 17 Maret 2019

TULANG PUNGGUNG KEHIDUPAN

Serial Kisah Anak Pendosa
Oleh Cak.naim

Selamat datang di kota metropolitan; Anak kecil sudah menjadi tulang punggung kehidupan.
Masa kecil yang seharusnya menjadi ajang kebahagiaan, tapi kini tidak lagi. Seharusnya masa itu seseorang belum mengenal kerasnya dunia, belum mengenal banting tulang siang-malam demi mendapatkan biaya hidup.
Senang sekali, masa kecil kita masih sering bermain dengan teman sebaya, bercanda, tertawa, menangis, dan yang spesial; sekolah. Tapi tidak dengan mereka; pemain ondel-ondel. Jangankan memegang gadget, mengupload status bijak, memposting makanan mewah yang katanya lezat setiap saat, merasakan manisnya kebahagiaan saja merupakan cita-cita yang yang harus dibayar mahal. Dengan berat hati harus mengikhlaskan kebahagiaan demi menafkahkan. Keceriaan yang seharusnya didapat, tapi lenyap, diganti dengan kerja keras dan usaha demi melanjutkan hidup. Demi mencicipi rasa enak harus ada harga mahal yang harus dikeluarkan.

"Selamat malam dik, sudah makan? Jangan lupa makan yah".
Ucapan selamat makan tidak akan membuat mereka kenyang, bung. Apalagi postingan makanan di sosial mediamu. Yang mereka butuhkan adalah sesuap nasi. Kamu tidak akan memberi mereka makan dengan ucapan 'selamat makan' kan!? Ga bisa dimakan. Apa harus makan postingan makanan di sosmed mu!? Hahaha... Lelucon konyol.
Ingin rasanya mencicipi bangku sekolahan. Tidak lagi lulusan sarjana bingung mencari lahan pekerjaan, lulusan SMK atau SMA bersaing mencari masa depan yang mereka dambakan. Bahkan anak-anak kecil yang seharusnya merasakan Sekolah Dasar (SD) pun harus rela ikut bersaing dengan orang dewasa mencari pekerjaan. Entah itu dengan mengamen, memainkan ondel-ondel, atau menjadi kuli pasar. Setidaknya bisa makan.
"ka, minta rizkinya dong... Buat makan kami belum makan, ka".
Tertegun, perkataan mereka membuatku tertohok. Padahal aku disitu hanya sedang duduk-duduk istirahat sambil minum softdrink dan menghisap rokok. Tapi disekelilingku ada anak kecil merasa kelaparan bekas kerja seharian.
"kaka punya nasi bungkus, dik. Kamu mau? Ambil saja. Makan bareng-bareng ya".
"iya ka, terimakasih".
Mereka memakan dengan lahap bersama teman tim pemain ondel-ondel lainnya. Sungguh bahagia, padahal hanya sebungbung nasi. Iya karena itu yang mereka cari.
Tolong teman-teman, meleklah. Banyak sekali diluar sana anak-anak yang sangat butuh uluran tangan. Bukan hanya sebatas rasa simpati, tapi juga rasa peka dan intuisi.

Pahlawan tanpa Tanda Jasa

Tepat pada hari Kamis lalu 17 Oktober 2019, kami dan teman-teman segelintir orang dari pelbagai elemen masyarakat menghadiri 'Aksi Kam...