Senin, 01 Juni 2019
04.10 WIB
Tulisan ini termotivasi dari sebuah film yang baru saja di tonton, Sexy Killer. Sebuah film dokumenter karya Ekspedisi Indonesia Biru, yang mengkisahkan bumi manusia yang terjajah dengan pabrik dan ideologi kapitalis. Masyarakat merasa terbebani dengan adanya pertambangan batubara dan PLTU. Bukankah PLTU bagus untuk kelangsungan hidup manusia? Penerangan rumah-rumah warga, listrik parabot rumah, televisi yang kita tonton setiap hari, misalnya. Bahkan dengan adanga PLTU bisa menenerangi 1 kota. Memamg benar, dengan adanya PLTU kita tidak perlu susah payah untuk melakukan kegiatan di malam hari. Namun, bukan berarti banyak manfaat yang dihasilkan tidak ada dampaknya. Bahkan dampak yang ditimbulkan tidaklah sederhana, yaitu ekosistem lingkungan menjadi terancam. Mulai dari perkebunan warga yang semula sejahtera, populasi Frola dan fauna yang melimpah, persawahan dan peternakan bahkan kemegahan alam yang indah, semuanya musnah. Berganti dengan bangunan-bangunan yang kokoh dengan tiang-tiang menjulang kelangit yang mengeluarkan asapa tebal.
Kota Samarinda Kalimantan Timur tepatnya Desa Kertabuana Kabupaten Kutai Kertanegara, hampir sebagian besar masyarakat disana ialah seorang petani. Sudah 20 tahun sejak 1990 masyarakat merasa terancam semenjak kedatangan proyek pertambangan batubara. Semula gunung yang menghasilkan air jernih dan melimpah kini berganti menjadi lubang galian dan aliran lumpur dari tambang. Bukan hanya persawahan saja yang terkena imbasnya melainkan rumah-rumah warga bahkan korban jiwa. Protes bukan tidak dilakukan, pada tahun 2005 salah seorang warga pernah memprotes menghadang alat berat, namun usahanya membuahkan hasil penjara selama tiga bulan dengan alasan mengganggu operasional perusahaan. Penangkapan tersebut membuat petani lain jera kala itu, dan membuat perusahaan pertambangan semakin leluasa. Pada tahun 2011 hingga 2018 setidaknya tercatat 32 jiwa melayang kibat tenggelam dilubang bekas galian tambang. Bahkan secara nasional pada tahun 2013 hingga 2018 tercatat 115 jiwa.
Pertambangan tersebut bukan hanya merugikan warga dalam perkebunan, tetapi bangunan dan kelangsungan hidup juga memprihatinkan. Banyak sekali lubang bekas galian tambang yang tidak di reklamasikan kembali. Setidaknya tercatat 3500 lubang bekas galian. Pada November 2018 tercatat 5 rumah warga hancur, 11 rusak, dan jalan utama ambles akibat aktivitas pertambangan yang terlalu dekat dengan permukiman dan fasilitas umum.
Rabu, 10 Juli 2019
09.01 WIB
Pernahkah kita berpikir listrik yang kita gunakan ini berasal dari mana? Yang kita tau aliran listrik yang menerangi rumah-rumah dan segala parabotannya berasal dari PLN. Sesederhana itu. Padahal proses yang dilakukan sangat rumit sekali, bahkan tak sedikit ada yang kehilangan hak dan memakan korban jiwa. Semua bermula dari ledakan didalam tanah. Bumi dikupas untuk diambil batubara-nya. Meskipun disebut batu sebenarnya ia berasal dari tumbuh-tumbuhan yang mengendap dan tertimbun selama lebih dari 200-300 juta tahun. Melalui truk-truk batu bara dibawa dan dipindahkan ke tongkang-tongkang yang lebih besar. Lalu batubara dibawa menyebrangi lautan, sebagian ada yang diekspor ke luar dan dikirim ke PLTU dalam negeri. Di PLTU inilah batu batubara dibakar dan uap nya digunakan untuk membangkitkan turbin sehingga mampu mengalirkan listrik. Baru dari situ listrik dialirkan kerumah-rumah warga.
Begitu panjang perjalanan muara listrik. Dan kita hanya mampu menikmatinya. Setidaknya menjaga dan berhemat kalau kita tidak mampu untuk membantu. Karena bagaimana pun sumber daya alam yang terus menerus digunakan akan habis pada akhirnya. Dan dampaknya ialah generasi penerus kita yang nantinya tidak bisa merasakannya. Sudah tidak bisa merawat ekosistem alam, keaneka ragaman flora dan fauna, ditambah menghabiskan sumber daya alam yang ada.
Kamis, 11 Juli 2019
07.32 WIB
Pernahkah kita mendengar istilah pemanasan global? Mungkin sudah tidak asing bagi kita. Tetapi, kesadaran dan intuitif terhadap nilai stabilitas keaneka ragaman hayati masih terlalu asing.
Pertumbuhan manusia setiap tahunnya selalu meningkat dengan derastis. Pada saat bersamaan, manusia telah berubah menjadi spesies mamalia yang penyebarannya paling luas di bumi. Saat ini tidak ada spesies mamalia lain yang jumlah individunya lebih besar dari pada Homo Sapiens. Dengan pertumbuhan yang semakin pesat, maka semakin banyak juga kebutuhan yang diperlukan. Angka pertumbuhan yang selalu meningkat menimbulkan dampak peradaban yang semakin pesat. Kestabilan siklus alam pun mulai berubah. Manusia mulai mengeruk sumber daya alam bumi; minyak bumi, batu bara, gas untuk diambil manfaatnya. Namun dampak tersebut juga mempengaruhi keseimbangan ekosistem dan pemanasan global. Melalui pembakaran minyak, batu bara, dan gas yang kemudian melepaskan CO² ke atmosfer. Meskipun jumlah CO² yang dihasilkan oleh manusia itu hanya sekedar bagian kecil dari jumlah yang ada dalam siklus alamiah, tapi itu menambah jumlahnya yang kemudian tidak bisa terurai dan terikat di kerak bumi secara alamiah. Sehingga semakin lama jumlah CO² di atmosfer semakin meningkat. Lalu bumi menjadi lebih hangat. Mengakibatkan lapisan es di Greenland meleleh, bahkan es di Antartika. Itu semua karena dampak lepasnya CO² dan gas metana- salah satu unsur utama gas, rumah kaca, dan mengakibatkan semakin panasnya bumi- ke atmosfer. Seperti halnya manusia jika mengkinsumsi kalori yang berlebih dari kebutuhan tubuh untuk fungsi normal, maka bobot tubuh manusia pun akan bertambah. Begitulah kira-kira analogi penumpukan CO² di atmosfer.
Dampak pengerukan minyak bumi, batu bara dan gas, bukan hanya berimbas pada perkebunan warga, permukiman, yang lebih parah pemanasan global, bahkan ekosistem alam dan bumi itu sendiri terancam. Dampak itupun menyebabkan kerusakan populasi flora dan fauna menurun. Semula bumi masih sangat mempesona. Namun pada abad ini bumi telah kehilangan pesonanya. Dunia ini telah begitu berubah. Pada seratus tahun lalu bumi masih terlihat asri belum terjamah manusia, hutan-hutan alami bisa kita temui dimana-dimana. Bahkan tumbuh-tumbuhan dan hewan banyak sekali yang begitu asing dimata kita. Itu masih sebagian kecil keelokan bumi.
Coba kita lihat kehidupan seputar laut; terumbu karang, moluska, rumput laut, kepiting, kura-kura, dan ikan-ikan yang amat cantik dan mengagumkan. Begitu indahnya pemandangan bawah laut tak kalah elok dengan darat. Bukankah tuhan adil. Namun, kita harus menyadari kenyataan pahit bahwa tingginya keasaman air laut telah merusak ekosistem dan segala spesies yang ada. Laut telah dipaksa menelan berjuta-juta ton CO². Bukti nyata dapat kita lihat di Taman Nasional Pulau Karimun Jawa, tongkang-tongkang bermuatan batu bara hingga ribuan ton hilir mudik diperairan tersebut yang dibawa dari kalimantan untuk di ekspor ke PLTU pulau jawa. Ketika cuaca buruk atau kehabisan bahan bakar tak jarang mereka membuang jangkar, mengakibatkan rusaknya terumbu karang. Itu belum termasuk tumpahan-tumpahan batu bara yang jatuh dan mencemari laut.
KESIMPULAN
Jum'at, 12 Juli 2019
06.31 WIB
Jostein Gaarder menulis dalam bukunya, Dunia Anna: “Umat manusia di bumi ini tidak selalu hidup bersamaan. Keseluruhan umat manusia tidak hidup hanya dalam satu kurun waktu. Telah hidup manusia sebelum kita, lalu kita yang hidup saat ini, dan generasi selanjutnya yang hidup sesudah kita. Dan mereka yang hidup sesudah kita haruslah diperlakukan sebagai satu-kesatuan. Kita harus memperlakukan mereka seperti perlakuan yang kita harapkan dari mereka jika saja mereka hidup di planet ini sebelum kita.
Sesederhana itu aturan mainnya. Jadi, kita tidak boleh mewariskan bumi yang lebih buruk dari pada saat kita tinggali. Jumlah ikan dilaut yang lebih sedikit. Air minum yang lebih sedikit. Makanan yang lebih sedikit. Hutan tropis yang lebih sedikit. Alam pegunungan yang lebih sedikit. Terumbu karang yang lebih sedikit. Gunung es dan jalur ski yang lebih sedikit. Jenis flora dan fauna yang lebih sedikit ...
Keindahan yang lebih sedikit! Keajaiban yang lebih sedikit! Kemuliaan dan kebahagiaan yang lebih sedikit!”
Teks ini menjadi gambaran kepada kita bahwa hidup tidak selalu tentang apa yang menurut kita baik dan bahagia. Harus ada kebahagiaan yang dirasakan manusia selain kita. Begitupun generasi sesudah kita harus merasakan kebahagiaan seperti yang kita rasakan.
Jostein Gaarder menulis juga: “Baik permasalahan iklim maupun berbagai masalah terkait ancaman dan keaneka ragaman hayati lainnya adalah akibat dari keserakahan. Namun, keserakahan biasanya tidak merisaukan orang-orang yang serakah itu sendiri. Telah banyak kejadian serupa dalam sejarah. Menurut prinsip resiprositas kita seharusnya hanya boleh menggunakan sumber daya tak-terbarukan sebanyak yang bisa kita kompensasikan untuk generasi selanjutnya. Pertanyaan-pertanyaan etis tidaklah perlu dijawab dengan cara yang sulit, tapi kemampuan kita untuk melaksanakan jawabannyalah yang sering kali tidak ada. Saya bisa membayangkan anak cucu kita dalam keputusasaan- baik karena kehilangan sumber daya alam seperti gas dan minyak maupun kehilangan keanekaragaman alam hayati: Kalian telah menghabiskan semuanya! Kalian tidak menyisakan sedikit pun untuk kami.”
Kita dapat sama-sama melihat, betapa banyak kawasan industri di pulau jawa; PLTU, pabrik dan rumah kaca. Semunya mengeluarkan asap tebal pembuangan pembakaran. Mungkin terlihat sederhana, tetapi CO² yang sudah berada di atmosfer tidak akan pernah terurai. Gas metana yang sudah mengudara tidak akan berbaur dengan udara. Dan efek rumah kaca yang memantulkan sinar matahari akan mengakibatkan atmosfer semakin tipis.
Apakah dengan cara ini manusia memperoleh kekayaan dan kebahagiaan duniawi? Apakah tidak berpikir panjang bahwa akan ada generasi sesudah kita? Bukankah pembakaran sumberdaya fosil dan batu bara ini dalam waktu singkat juga akan memuskahkan berbagai cadangan sumber daya alam yang dapat diperbaharui? Tidakkah pesta minyak tak bermoral ini menjadi ancaman signifikan bagi sumber penghidupan tanaman, hewan dan manusia nantinya? Dan bukankah perampokan atas mereka yang seharusnya mewarisi bumi ini?
Berbahagia bukan hanya milik individu; para penguasa, pemilik modal, para pecinta alam, aktivis lingkungan, bahkan bukan milik negara. Melainkan untuk seluruh makhluk hidup, baik manusia, hewan dan tumbuhan. Maka lestarikanlah. Jika makhluk yang berakal saja tidak memiliki kesadaran untuk menjaga ekosistem dan kestabilan alam, bagaimana dengan makhluk lainnya? Terkadang kita suka berkomentar tentang hal-hal buruk. Menyuarakan slogan 'GO GREEN'. Tetapi sangat merasa bosan membahas topik kelestarian lingkungan. Mari mulailah dari sekarang, diskusikan tentang keanekaragaman hayati dilingkungan kita.
SEKIAN.