Jumat, 17 Mei 2019

NILAI KEMANUSIAAN YANG MEMUDAR

Serial kisah anak pendosa
Oleh Cak.naim

Disimpang jalan ku mengadu nasib dengan tuhan. Dari sini aku bisa melihat banyak orang berlalu lalang. Mulai dari yang perpakaian necis sampai busana islami. Bahkan yang berpakaian lusuh dan compang-camping.

"De, ini ada makanan ambilah".

Suara itu membuyarkan lamunanku. Seorang ibu memanggil dari balik kaca mobilnya yang dibuka. "Oh, iya terimakasih banyak, bu".

Kurasa ibu itu menganggapku gembel karena dipinggir jalan dengan pakaian lusuh dan celana pendek. Yasudahlah makan saja, toh sudah diberi, menghormati pemberian ibu itu sekaligus bersyukur dengan nikmat yang tuhan berikan. Lagi pula itu hanya soal penampilan.

Bicara soal penampilan, sering kali kita menafikan orang-orang kelas bawah. Dibutuhkan pada saat bulan ramadhan sebagai ajang kompetisi gengsi kaum ber-uang. Namanya juga ibukota, bukan disini tempatnya kalau gengsi  melihat tetangganya lebih kaya.

Kekiri dianggap komunis. Kekanan dianggap kapitalis. Berpenampilan sarung dan sorban dikira teroris. Bercelana levis dubully kebarat-baratan, sok necis. Celana gombrong dibilang jamet Ketinggalan zaman. Celana pensil dibilang berandalan.

Susah sekali yah, mengikuti standar ibu kota. Setiap orang mempunyai sudut pandang yang berbeda. Bingung yang benar yang mana. Merasa paling benar padahal hanya soal pakaian. Namanya ibu kota, bukan disini kalau pakaian kusam dicap wajah pengemis.

Ideologis tergerus arus zaman. Pragmatis dikata sok-sokan. Realistis dihina tidak memiliki aturan. Susah menjadi manusia yang berstandar manusia di Ibukota.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pahlawan tanpa Tanda Jasa

Tepat pada hari Kamis lalu 17 Oktober 2019, kami dan teman-teman segelintir orang dari pelbagai elemen masyarakat menghadiri 'Aksi Kam...